Perjuangan Sang Entrepreneur dalam Mengelola Sumber Daya Manusia di Indonesia

Perjuangan Sang Entrepreneur dalam Mengelola Sumber Daya Manusia di Indonesia

Bisnis digital yang sedang berkembang di Indonesia adalah pasar yang sangat menggiurkan bagi investor, VC, dan para lulusan AS. Mereka telah membuat rencana bisnis yang solid, melakukan riset pasar mereka sendiri, namun meskipun begitu mereka pun sering lupa untuk mempertimbangkan satu faktor, yaitu Sumber Daya Manusia.

Para entrepreneur di Indonesia akan mengalami hal yang sama dan bersaing pula untuk mendapatkan SDM yang berkualitas dan mempunyai kinerja yang tinggi. Dapat dilihat pula perkembangan pebisnis muda saat ini pun sudah merajalela, apalagi mereka juga harus dapat menyaingi perusahaan-perusahaan yang sudah lebih dulu terjun di dunia entrepreneur. Mengapa demikian? Mari kita simak beberapa poin di bawah ini untuk mengetahuinya!

 

  1. Para Fresh Graduate terbaik diambil

Tidak seperti di AS, lulusan universitas di Indonesia berbeda secara luas dalam kualitas (disebabkan oleh kurangnya standarisasi dan peraturan untuk membuka dan mengelola universitas). Hanya ada beberapa universitas yang bagus dengan lulusan terbaik, dan mereka pun telah ‘dipesan’ bahkan sebelum mereka lulus. Perusahaan teratas di Indonesia, seperti Astra, Unilever, Danone, Chevron, dan Pertamina secara aktif melibatkan universitas tersebut dan melakukan kegiatan branding perusahaan besar seperti: beasiswa, pelatihan, persaingan usaha, penugasan proyek yang didanai, dan lain-lain.

Pada tahap ini dapat dikatakan cukup sulit untuk segera mengubah pola pikir siswa terbaik ini agar bisa bergabung dengan perusahaan startup. Untuk saat ini, para pendiri startup harus puas dengan fresh graduate lapis kedua.

 

  1. Budaya timur yang selalu ada yaitu: Sungkan

Kita sendiri pun tidak bisa menemukan terjemahan sungkan secara gamblang atau langsung. Sungkan berarti komunikasi dan tindakan tidak langsung karena menghormati orang lain. Banyak perusahaan masih menghormati budaya sungkan ini, yang berarti karyawan dengan performa buruk tidak dapat ditegur atau dipecat secara terbuka. Sementara untuk perusahaan pemula, kebanyakan tidak mampu membayar satu karyawan berkinerja buruk.

 

  1. Kolektivisme tinggi di masyarakat

Berikut ini akan ditampilkan definisi kolektivisme dalam psikologi:

Kolektivisme didefinisikan sebagai model sosial, di mana anggotanya lebih memperhatikan kepentingan kelompok tempat mereka dan mengubahnya menjadi milik kepentingan untuk masing-masing individu. Nilai kerjasama dianggap lebih berat daripada persaingan dalam budaya kolektivis, dan kebutuhan preferensi kelompok lebih diutamakan dibanding individu. Nilai inti dari jenis budaya ini meliputi keterikatan sosial, solidaritas kelompok identitas kolektif, dan pengambilan keputusan kelompok. Jenis budaya ini sering dibahas berbeda dengan budaya individualis di mana kepentingan individu dinilai lebih kuat daripada nilai kelompok. (TN)