Keteladan Imam Syafi’i dalam Menuntut Ilmu

Keteladan Imam Syafi’i dalam Menuntut Ilmu

Dalam mahfudzhot (kumpulan nasehat-nasehat Arab) yang cukup terkenal, dikisahkan bahwa Imam Syafi’i pernah mengadu kepada gurunya yang bernama Imam Waqi’. Imam Syafi’i  menceritakan keadaan dirinya yang mengalami kesulitan dalam menghafal. Tentu saja kesulitan menghafal yang dialami oleh Imam Syafi’i tidak seperti kesulitan yang dialami oleh kebanyakan orang. Imam Syafi’i memiliki kedudukan yang sangat tinggi sebagai Ulama karena memiliki kecerdasan dan keilmuan yang sangat cemerlang, sehingga kesulitan yang dia alami merupakan kesulitan yang mungkin dianggap ringan ataupun tak jadi masalah bagi orang-orang awam. Kesulitan tersebut dipandang sebagai suatu bencana yang sangat besar bagi dirinya, “hasanatul abror sayyiatul muqorrobiin” (suatu yang dianggap sebagai kebaikan bagi orang awam, dapat menjadi suatu keburukan bagi orang yang memiliki kedudukakan dekat dengan Allah).

Setelah Imam Syafi’i mengadukan permasalahan yang dialaminya, Imam Waqi’ memberikan nasehat untuk Imam Syafi’i, jika ingin mudah untuk menghafal ilmu hendaklah meninggalkan segala perbuatan dosa, karena ilmu yang ingin kita hafal dan ketahui merupakan cahaya dari Allah yang tidak akan pernah diberikan kepada orang-orang yang gemar berbuat dosa. Kisah Imam Syafi’i dan gurunya dapat menjadi bekal dan pelajaran bagi kita yang gemar menuntut ilmu. Setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari kisah tersebut.

Pertama, hendaklah kita sebagai penuntut ilmu tidak berjalan sendiri tanpa adanya bimbingan dari guru.  Perjalanan menuntut ilmu merupakan suatu perjalanan yang begitu berat, jalan yang penuh dengan pendakian dan rintangan, sehingga kita membutuhkan teman yang mampu membimbing kita. Hendaklah kita mencari guru yang benar-benar memahami hakekat ilmu, mempertanggungjawabkannya, dan mengamalkannya, sebagaimana Imam Waqi’ yang menjadi guru Imam Syafi’i. Seorang guru yang mampu memberikan solusi kepada muridnya tatkala murid mengalami kesulitan. Selain itu, hendaklah kita memiliki guru yang mampu mengenalkan dan mengajak kita untuk terus semakin dekat kepada Allah, serta menjauhkan kita dari keburukan. Guru yang ketika kita bertemu dengannya selalu ada ilmu baru yang kita dapatkan.

Kedua, hendaklah kita tidak pernah sungkan untuk bertanya kepada guru mengenai kesulitan-kesulitan yang ditemukan saat menuntut ilmu. Pepatah terkenal menyebutkan bahwa “malu bertanya sesat di jalan”. Menuntut ilmu merupakan perjalanan yang sangat panjang karena dilakukan dari buaian hingga masuk liang kubur. Dengan membiasakan bertanya akan selalu ada jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi. Bertanya juga merupakan setengah dari ilmu. Salah satu kunci untuk membuka ilmu yang belum kita ketahui adalah dengan cara bertanya kepada guru.

Ketiga, hendaklah kita memahami kemuliaan ilmu yang menjadi warisan para Nabi. Menurut Imam Waqi’ ilmu merupakan cahaya dari Allah. Orang yang buta matanya tidak akan pernah dapat melihat terangnya cahaya matahari, begitu pula dengan orang yang buta mata hatinya tidak akan pernah merasakan cahaya ilmu. Mata hati menjadi buta akibat dari perbuatan dosa yang dilakukan. Oleh karena itu, agar cahaya ilmu mudah untuk menyerap di hati, hendaklah kita senantiasa menjauhkan segala bentuk perbuatan dosa.

Ilmu juga merupakan sesuatu yang sangat berharga, bahkan Ali bin Abi Thalib R.A. menjelaskan bahwa ilmu lebih berharga daripada harta, karena ilmu akan menjaga kita, sedangkan harta, kitalah yang menjaganya. Seseorang yang telah mendapatkan suatu ilmu, sesungguhnya telah mendapatkan penjagaan dari Allah. Ilmu tersebut akan membimbingnya dan menjaganya sehingga dia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, laksana cahaya yang mampu memberikan kejelasan bagi seseorang dalam perjalanan.

Wallahu A’lam

(Alfi Irhamsyah – Guru Pendidikan Agama Islam di SD Islam Al-Ikhlas, Cipete, Jakarta Selatan)